SK PPDP

Kamis, 07 Juli 2011

Majalengka, ‘Kota Mati’ yang Butuh Investor

MEMASUKI usia ke-521 tahun pada 7 Juni mendatang, Pemerintah Daerah (Pemda) Majalengka berusaha memacu pembangunan infrastrukturnya. Setidaknya, bisa menepis julukan Majalengka sebagai kota pensiunan. Majalengka pun harus menjadi dinamis. Upaya untuk itu ditandai dengan dipacunya pembangunan infratruktur setempat. Ini, antara lain, ditandai dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Majalengka, dan jalan tol Majalengka-Bandung yang sudah sampai tahap pembebasan lahan. Jika kedua proyek tersebut terealisasi, maka Majalengka bakal bersaing dengan Cirebon, kawasan ‘tetangga’ yang selama ini menjadi kiblat perekenomian Majalengka.

Membangun infrastruktur berarti Pemda Majalengka membuka diri terhadap kalangan investor. Dengan demikian, perencanaan utama (master plan) Majalengka bisa kembali ditata. Selama ini, pusat ibukota Majalengka, merupakan kawasan ‘mati’. Di atas pukul 20.00 WIB, kawasan pertokoan telah ditutup. Jalanan berubah sepi kecuali pedagang makanan yang berada di hampir seantero ibukota kabupaten.

Ironisnya, jantung perekenomian Majalengka terasa ‘berdenyut’ di sepanjang jalan utama yakni kawasan Pantai Utara (Pantura), wilayah Kecamatan Kadipaten. Selama hampir 24 jam, jalanan di Kadipaten ini hilir-mudik dilewati berbagai jenis kendaraan yang lalu-lalang Jakarta-Surabaya. Tak heran jika di kawasan ini, berdiri sejumlah pertokoan besar, bukan mal, atau bank swasta nasional yang tak terdapat di pusat kabupaten.

Bupati Majalengka, H Sutrisno MSi mengakui, Majalengka perlu ditata lagi. Caranya, menggalakkan pembangunan di berbagai sektor dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holders). Pembangunan tersebut dipacu lewat masuknya kalangan investor maupun pembangunan berbagai proyek fisik yang didanai pemerintah pusat maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

“Kita harus membuka diri atas investasii dari luar, selain menggalakkan semua potensi yang ada dari kita. Apalagi, Majalengka ditargetkan oleh pemerintah pusat untuk menjadi pusat perekenomian Jawa Barat bagian timur. Tapi karena Majalengka merupakan kawasan yang religius, maka semua pembangunan yang ada tentunya harus disesuaikan dengan kultur dan adat masyarakat setempat,” kata Sutrisno kepada Jurnal Nasional, usai berpidati dalam Rapat Senat Terbuka Universitas Negeri Majalengka (Unma) terkait Lustrum I dan ulang tahun kelima Unma di Majalengka, baru-baru ini.

Tekat Sutrisno pun diakui kalangan investor yang sudah, sedang dan akan berbisnis di Majalengka. Menurut mereka, Bupati Majalengka harus lebih tekat mengawasi semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-nya jika menyangkut investasi. Rawin Murdiki, Direktur PT Media Televisi Jabar misalnya, mendesak supaya kalangan investor lebih dipermudah jika akan berbisnis di Majalengka.

“Memang agak birokratif tapi semua izin menyangkut stasiun televisi lokal yang akan saya dirikan, berjalan lancar. Harus begini memang, perizinan dipermudah, jangan sampai dipersulit,” katanya secara terpisah di Majalengka.

Sutrisno sendiri mengakui, Majalengka harus dibangun putera-putera daerah sendiri. Dengan demikian para sarjana lulusan Unma misalnya, sebaiknya tak perlu mencari kerja ke luar daerah. “Karena bagaimanapun, Majalengka sangat memerlukan kontribusi putera-puteri daerah yang terbaik,” ujarnya.

Yang pasti, Majalengka tak memiliki lokasi hiburan yang bisa mengembangkan potensi warga, terutama anak muda. Dinas pendidikan dan olahraga setempat, tak berinisiatif untuk itu. “Akibatnya, anak-anak muda saat liburan, terpaksa ke Cirebon atau paling jauh ke Bandung. Majalengka memang cocok jika selama ini disebut sebagai kota pensiunan selain sebagai kota pelajar,” ujar Yana Sofyan, warga Majalengka. “Patrick Sorongan

Ditulis Oleh : yana sofyan hidayat Hari: 01.34 Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...